Sabtu, 04 Mei 2013

Free Writing


Pelangi di Sela-Sela Hujan

Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama
tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus
ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku.
Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.

Aku kira kamu masih yang dulu, yang selalu menyapaku lembut. Namun perkiraanku jauh dari kenyataannya, kamu sudah jauh berbeda, kamu telah menjadi orang lain yang aku pun tak tahu siapa kamu sekarang. Kamu berubah begitu cepat, seolah-olah kecepatan cahayapun terkalahkan oleh perubahan sikapmu itu. Aku tak mau menduga-duga alasan kamu berubah, aku takut aku salah, aku takut terlalu mendramatisir keadaan. Namun drama yang aku buat dalam imajenasiku itu lebih tragis dari apa yang ku alami sekarang, kamu memang sudah tak seperti dulu, kamu memang sudah tak selembut dulu, kamu memang sudah tak memahami perasaan seseorang yang selalu mempertahankanmu.
Lagi dan lagi aku tersakiti, dan aku tetap bertahan tak tahu berapa lama lagi aku mampu mempertahankan, cinta yang kata mereka buta. Aku bahkan tak pernah mempedulikan mereka yang menganggapku bodoh, menganggapku tolol karena mempertahankan seseorang sepertimu. Menurutku kamu begitu teristimewa, begitu manis, begitu lembut dan selalu membuat tawaku lepas. Tapi itu kamu yang dulu, kamu yang sekarang  beda. Menatapku saja, seolah kamu menatap mangsa yang akan kamu terkam, matamu  selalu menyiratkan amarah dan kebencian. Aku tak pernah tahu sebabnya, lagi lagi aku tak mau menduga-duga hal yang sangat aku takutkan.
Terdengar suara khas bruno mars dari handphoneku,
From :  Agam
Aku mau ngomong sm km di kafe biasa, mau dijemput apa ketemuan disana?
To : Agam
Aku naik taksi ajah kesana.
Ku bergegas dan bangkit dari kasurku yang begitu manja, kertas masih berserakan dikasur, aku belum selesai menulis tapi ada hal lain yang begitu penting bagiku selain menulis, ku slempangkan handuk untuk ke kamar mandi, sambil melangkah gontai. Ku jatuhkan setiap tetesan air dari shower, selalu aku mual dipagi yang begitu dingin ini, memang tak pernah bersahabat dengan mandi pagi, “pikirku.
Pukul 10.30, tepat sampai di kafe yang berada di samping gedung pertunjukan yang terlihat begitu ramai. Ternyata agam sudah sampai lebih dulu di sana, dia sudah duduk di samping kaca yang akan terlihat begitu romantis saat hujan, kaca yang menyulap air menjadi tetesan-tetesan embun yang begitu indah untuk dinikmati.
“ kamu udah lama nunggu”, tanyaku, sambil ku geser kursi yang awalnya rapat dengan meja.
“ ga, aku baru sampai ko”, jawabnya datar.
“kamu kenapa sih gam, akhir-akhir ini kamu selalu jutek padaku, kalau aku ada salah ya kamu ngomong, ga perlu mendiamkanku begini “, spontan letupan emosi yang telah membesar di hatiku itu keluar lewat mulutku.
“ kamu mau pesan apa?”, ucapnya datar.
“aku nanya ke kamu, kamu malah mengalihkan pembicaraan, kamu ........”, buru-buru dia memegang tanganku mengisyaratkan aku untuk diam. Aku tak bisa berkutik lagi saat sorotan mata yang sedang memohon itu menatapku, tajam tapi meneduhkan. Sorot mata itu kembali menjadi sosok yang aku kenal, ini adalah agamku, agam yang dulu, agam yang selalu lembut.
“ mas, silahkan pesanannya sudah datang “, seorang pelayan wanita berbadan ramping berkulit coklat manis itu membawa minuman sambil menyungingkan senyumannya yang sederhana tapi begitu menarik. Lamunanku buyar, sorotan mata itu tak lagi menatapku, tapi tangannya masih menggenggam erat jemariku.
“kamu mau pesan apa sayang”, suara agam yang halus dan kembali membuat hatiku menari-nari.
“aku pesan stick mushroom sama capucino dingin ajah”, jawabku , pelayan itu mencatat makanan yang aku pesan, lalu pergi.
Ku coba tatap mata agam, masih menjadi agamku, tatapannya kembali menjadi agam yang ku kenal dulu. Sentuhan halus jemarinya kini menyentuh pipiku, berjalan menuju rambutku yang sengaja ku gerai.
“ Nin, maafin aku. Kemarin-kemarin aku sering kasar ke kamu, aku sering marah-marah ga jelas, emosiku kadang ga stabil, maafin aku ya nin, aku sayang kamu.”
“Kamu tahu kan gam, aku selalu maafin kamu, aku ga pernah bisa marah atau benci kamu.”
Tak beberapa lama makananan pesanankupun datang, kami makan sambil sesekali saling menyuapi. Aku bahagia, agamku kembali lagi.
Usai makan siang di kafe itu, agam mengajakku ke tempat pertama kita bertemu, dengan jazz putih yang dia pakai, kita menyusuri jalan yang lumayan padat . Aku bahagia, agamku yang dulu sudah kembali.  Di mobil putih keluaran terbaru itu, tawa kita selalu meledak, tak jarang agam mencubit cuping hidungku sebagai tanda kalau ia sedang gemas. Jemariku juga masih bergelayut manja di lengannya. Aku merasa seperti berada di 2 tahun lalu, saat pertama kita berkomitmen untuk menjalin suatu hubungan, hubungan yang kita mulai dengan keseriusan dan berharap berakhir juga dengan sebuah keseriusan.
 Agam mengajakku ke pantai tempat kita menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu senja, sepertinya agam juga merindukan pancaran matahari tenggelam yang terbias di air. Sudah 6 bulan lebih agam tak pernah mengajakku ke tempat ini lagi.
“ Sayang, kamu kenapa diem ajah dari tadi, “ agam menoel pipiku.
“ Aku kangen saat-saat seperti ini gam, rasanya udah lama sekali kamu tak mengajakku kesini, beberapa bulan ini aku hanya menikmati senja ini sendiri, tanpamu dan rasanya sangat asing bagiku. Rasanya senja itu tak lagi bersahabat denganku setiap ku nikmati senja itu sendiri, tapi sekarang lihat saja senja itu mulai tersenyum padaku, mulai memancarkan cahayanya, “ ucapku sambil membereskan rambut agam yang berantakan tersapu angin pantai.
Sesekali air pantai menyapu kakiku dengan pijatan halus pasir khas pantai, agam memegang erat jemariku. Senyumnya, senyum yang tak asing bagiku, senyum yang menemani hari-hariku selama 2 tahun ini. Agam pria yang begitu sempurna di mataku, yang selalu tak punya cacat meski kadang hatiku tersayat olehnya. Sore itu kita menikmati senja bersama, kembali menuliskan nama kita di atas pasir putih. Sore itu kamu begitu manis, begitu romantis lebih romantis dari dua tahun yang lalu.
                                                                        ҈҉           
Sinar matahari pagi menyilaukan pandanganku,  ibu baru saja membuka jendela kamarku, itu sama saja membangunkanku dari tidur, padahal masih pengen tidur masih pengen melanjutkan mimpi bersama agam.
“Nak, bangun. Tuh Agam udah nungguin kamu dari tadi”, sapa ibu lembut.
“ Iyah bu, Agam udah nunggu ninda bu? “.
“Udah dari tadi, kamu mandi gih terus sarapan, udah ibu siapin sarapan buat kamu sama agam”.
Ku beranjak, mandi kilat dan menemui agam. Senyum agam masih seperti kemarin, senyum yang selalu membuat aku selalu jatuh cinta padanya.
“Gam, sarapan yuks ibu udah nyiapin sarapan buat kita”.
“Hayu sayang, kamu cantik banget hari ini”, agam merayuku sambil mengandeng erat jemariku.
Agam masih memperhatikanku, gerak-gerik matanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam, aku tak pernah tahu mengapa perubahan itu terjadi padanya. Aku memang tak mau menduga-duga karena takut semua yang telah kita lalui itu rusak karena sifatku yang suka menduga-duga. Aku hanya ingin membuang segala muatan negatif yang ada dalam diriku, aku ingin mengantikannya dengan muatan-muatan positif yang akan membuatmu terus menjadi agamku.
                                                                        ҈҉           
Seorang perempuan berkulit putih, berperawakan tinggi dan berwajah ayu datang menemuiku dengan map hitam ditangannya, aku tak mengenalnya tapi wajahnya tak asing bagiku. Matanya menyorotkan kebencian terhadapku namun tak sedikitpun mengurangi paras ayunya. Ku coba buka-buka file memori di otakku, mencoba menemukan nama dari sosok yang telah ada di depanku. Sampai  akhirnya aku menemukan kembali file yang ada dalam memori otakku, aku pernah melihat foto dia di hp agam. Tapi aku tak pernah tahu siapa dia karena aku tak mau dibilang terlalu mencampuri urusannya.
“ Kamu ninda?”.
“ Ya, saya ninda. Mbak siapa yah?”.
“Rasanya kamu tak perlu tahu namaku,aku hanya ingin memberimu ini, agar kamu tahu siapa agam sebenarnya”, deg jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, suaranya begitu ketus, menggambarkan kebenciannya kepada aku dan agam. Tuhan apa isi map ini. Semua pertanyaan dalam hatiku belum bisa terjawab, otakku masih terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang aku sulit cerna, kalimat-kalimat yang asing bagiku, yang akupun tak bisa menjawabnya.
Tanganku gemetar, tubuhku seakan terguncang, ada gempa parsial yang ada dalam diriku. Tiap lembar isi map itu bagai surat kematian untukku, aku tak bisa berkata. Terasa air hangat keluar dari pelupuk mataku, tangisku meledak. Aku tak peduli aku ada dimana,  langsung ku ambil selembaran uang 20 ribuan untuk membayar minuman yang aku pesan. Wajah kasir itu menatapku iba. Tapi aku tak peduli dengan tatapan ibanya, padahal dalam hati aku mengutuk tatapan iba itu.
Perjalanan dari kafe ke rumahku terasa sangat jauh. Argo terus berputar seperti air mataku yang masih mengalir. Aku memang wanita perasa yang begitu cengeng, entahlah mungkin semua wanita juga akan menangis jika mereka menjadi aku. Sesampai dirumah aku memeluk ibuku meraung-raung bak anak ayam yang kehilangan induknya, ibu terus mengelus rambutku. Ibu tak berkata apa-apa tapi matanya menyiratkan dia lebih terluka dibanding aku. 
Malam itu agam menemuiku, namun suasananya tak seperti kemarin. Aku hanya diam dengan mata yang membengkak, aku sudah tak bisa berkata lagi dengan agam. Aku diam, diam yang sediam-diamnya, aku tak bisa berucap. Malam ini kamu seperti monster yang menghancurkan mimpiku. Aku tak pernah percaya akan menghadapi kenyataan seperti ini, aku hanya memberimu sebuah surat. Surat putih yang sedikit lusuh karena ada tetesan air mata di sudut-sudutnya.
To : Agam
Seorang wanita berparas ayu menghampiriku, aku tak pernah tahu siapa dia. Tapi wajahnya tak asing bagiku. Dia membawakan sebuah map berisikan semua foto-fotomu dengannya, dan dengan anakmu. Ya, dia istrimu. Dalam amplop itu semua cerita bahagiamu dengannya menghancurkan setiap kepingan mimpi kita. Argh!! bukan mimpi kita tetapi mimpiku, kamu telah lebih dulu mewujudkan mimpimu dengan dia, bukan denganku. Aku memang mencintaimu tapi dia lebih membutuhkanmu. Dia yang lebih dulu kau kenalkan dengan senja, dia yang lebih dulu kau tuliskan namanya diatas pasir dan dia yang lebih dulu memberikanmu seorang anak.
Bukannya dulu kamu pernah bilang padaku, kamu ingin punya peri-peri kecil yang memanggilmu ayah, dia telah memberikanmu peri-peri kecil itu. Lalu apa lagi yang kau sangsikan lagi darinya? Kembalilah dengannya, dengan peri-peri kecilmu yang lucu. Anggaplah aku penghibur sepimu, anggaplah aku iklan yang kamu tonton sesaat ketika kamu sedang asik melihat sinteron. Anggaplah aku masa lalumu yang sekedar lewat. Anggaplah aku tak ada seperti saat kamu berubah kemarin-kemarin. Anggaplah aku pelangi yang bersamamu sementara dan mengindahkan harimu sementara walau hujan tetap ada. Biarlah deburan ombak menghapus setiap huruf yang kita tuliskan di atas hamparan pasir. Dan aku, akan tetap menjadi aku seperti sebelum aku mengenalmu.                                                                                                           Ninda Arinda
Aku tak pernah mau tahu setiap cerita yang menyudutkanmu, aku juga tak mau tahu setiap nasehat yang selalu mewarnai telingaku. Tapi ternyata aku salah, aku memang harus tahu segala sesuatu yang terjadi pada orang yang ku sayangi. Kemarin aku coba tutup mata atas pengabaianmu, namun kali ini aku tak bisa menutup mata karena seorang yang begitu nyata menunjukan semuanya, mungkin ini jalan Tuhan menunjukan kunci peta buta kepada seorang wanita sepertiku agar tak selalu ada dalam kebutaan. Aku buta karena aku salah mencintaimu, mencintai seseorang yang pernah menyelipkan cincin dijari manis seorang wanita yang kini menjadi istrinya, mencintai seseorang yang pernah berjanji dihadapan penghulu, mencintai seseorang yang sudah mempunyai buku nikah. Aku tahu cinta tak pernah salah karena cinta itu alami namun dalam suatu hubungan tak hanya sekedar cinta, tapi komitmen, dan kamu harus menjaga komitmen dengan wanitamu itu.
Biarlah cerita kita menjadi cerita lalu. Mungkin Tuhan mengariskan kita bersama untuk beberapa waktu tapi Tuhan tak mengariskan kita bersama selamanya. Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku. Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.

Free Writing


Pelangi di Sela-Sela Hujan

Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama
tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus
ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku.
Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.

Aku kira kamu masih yang dulu, yang selalu menyapaku lembut. Namun perkiraanku jauh dari kenyataannya, kamu sudah jauh berbeda, kamu telah menjadi orang lain yang aku pun tak tahu siapa kamu sekarang. Kamu berubah begitu cepat, seolah-olah kecepatan cahayapun terkalahkan oleh perubahan sikapmu itu. Aku tak mau menduga-duga alasan kamu berubah, aku takut aku salah, aku takut terlalu mendramatisir keadaan. Namun drama yang aku buat dalam imajenasiku itu lebih tragis dari apa yang ku alami sekarang, kamu memang sudah tak seperti dulu, kamu memang sudah tak selembut dulu, kamu memang sudah tak memahami perasaan seseorang yang selalu mempertahankanmu.
Lagi dan lagi aku tersakiti, dan aku tetap bertahan tak tahu berapa lama lagi aku mampu mempertahankan, cinta yang kata mereka buta. Aku bahkan tak pernah mempedulikan mereka yang menganggapku bodoh, menganggapku tolol karena mempertahankan seseorang sepertimu. Menurutku kamu begitu teristimewa, begitu manis, begitu lembut dan selalu membuat tawaku lepas. Tapi itu kamu yang dulu, kamu yang sekarang  beda. Menatapku saja, seolah kamu menatap mangsa yang akan kamu terkam, matamu  selalu menyiratkan amarah dan kebencian. Aku tak pernah tahu sebabnya, lagi lagi aku tak mau menduga-duga hal yang sangat aku takutkan.
Terdengar suara khas bruno mars dari handphoneku,
From :  Agam
Aku mau ngomong sm km di kafe biasa, mau dijemput apa ketemuan disana?
To : Agam
Aku naik taksi ajah kesana.
Ku bergegas dan bangkit dari kasurku yang begitu manja, kertas masih berserakan dikasur, aku belum selesai menulis tapi ada hal lain yang begitu penting bagiku selain menulis, ku slempangkan handuk untuk ke kamar mandi, sambil melangkah gontai. Ku jatuhkan setiap tetesan air dari shower, selalu aku mual dipagi yang begitu dingin ini, memang tak pernah bersahabat dengan mandi pagi, “pikirku.
Pukul 10.30, tepat sampai di kafe yang berada di samping gedung pertunjukan yang terlihat begitu ramai. Ternyata agam sudah sampai lebih dulu di sana, dia sudah duduk di samping kaca yang akan terlihat begitu romantis saat hujan, kaca yang menyulap air menjadi tetesan-tetesan embun yang begitu indah untuk dinikmati.
“ kamu udah lama nunggu”, tanyaku, sambil ku geser kursi yang awalnya rapat dengan meja.
“ ga, aku baru sampai ko”, jawabnya datar.
“kamu kenapa sih gam, akhir-akhir ini kamu selalu jutek padaku, kalau aku ada salah ya kamu ngomong, ga perlu mendiamkanku begini “, spontan letupan emosi yang telah membesar di hatiku itu keluar lewat mulutku.
“ kamu mau pesan apa?”, ucapnya datar.
“aku nanya ke kamu, kamu malah mengalihkan pembicaraan, kamu ........”, buru-buru dia memegang tanganku mengisyaratkan aku untuk diam. Aku tak bisa berkutik lagi saat sorotan mata yang sedang memohon itu menatapku, tajam tapi meneduhkan. Sorot mata itu kembali menjadi sosok yang aku kenal, ini adalah agamku, agam yang dulu, agam yang selalu lembut.
“ mas, silahkan pesanannya sudah datang “, seorang pelayan wanita berbadan ramping berkulit coklat manis itu membawa minuman sambil menyungingkan senyumannya yang sederhana tapi begitu menarik. Lamunanku buyar, sorotan mata itu tak lagi menatapku, tapi tangannya masih menggenggam erat jemariku.
“kamu mau pesan apa sayang”, suara agam yang halus dan kembali membuat hatiku menari-nari.
“aku pesan stick mushroom sama capucino dingin ajah”, jawabku , pelayan itu mencatat makanan yang aku pesan, lalu pergi.
Ku coba tatap mata agam, masih menjadi agamku, tatapannya kembali menjadi agam yang ku kenal dulu. Sentuhan halus jemarinya kini menyentuh pipiku, berjalan menuju rambutku yang sengaja ku gerai.
“ Nin, maafin aku. Kemarin-kemarin aku sering kasar ke kamu, aku sering marah-marah ga jelas, emosiku kadang ga stabil, maafin aku ya nin, aku sayang kamu.”
“Kamu tahu kan gam, aku selalu maafin kamu, aku ga pernah bisa marah atau benci kamu.”
Tak beberapa lama makananan pesanankupun datang, kami makan sambil sesekali saling menyuapi. Aku bahagia, agamku kembali lagi.
Usai makan siang di kafe itu, agam mengajakku ke tempat pertama kita bertemu, dengan jazz putih yang dia pakai, kita menyusuri jalan yang lumayan padat . Aku bahagia, agamku yang dulu sudah kembali.  Di mobil putih keluaran terbaru itu, tawa kita selalu meledak, tak jarang agam mencubit cuping hidungku sebagai tanda kalau ia sedang gemas. Jemariku juga masih bergelayut manja di lengannya. Aku merasa seperti berada di 2 tahun lalu, saat pertama kita berkomitmen untuk menjalin suatu hubungan, hubungan yang kita mulai dengan keseriusan dan berharap berakhir juga dengan sebuah keseriusan.
 Agam mengajakku ke pantai tempat kita menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu senja, sepertinya agam juga merindukan pancaran matahari tenggelam yang terbias di air. Sudah 6 bulan lebih agam tak pernah mengajakku ke tempat ini lagi.
“ Sayang, kamu kenapa diem ajah dari tadi, “ agam menoel pipiku.
“ Aku kangen saat-saat seperti ini gam, rasanya udah lama sekali kamu tak mengajakku kesini, beberapa bulan ini aku hanya menikmati senja ini sendiri, tanpamu dan rasanya sangat asing bagiku. Rasanya senja itu tak lagi bersahabat denganku setiap ku nikmati senja itu sendiri, tapi sekarang lihat saja senja itu mulai tersenyum padaku, mulai memancarkan cahayanya, “ ucapku sambil membereskan rambut agam yang berantakan tersapu angin pantai.
Sesekali air pantai menyapu kakiku dengan pijatan halus pasir khas pantai, agam memegang erat jemariku. Senyumnya, senyum yang tak asing bagiku, senyum yang menemani hari-hariku selama 2 tahun ini. Agam pria yang begitu sempurna di mataku, yang selalu tak punya cacat meski kadang hatiku tersayat olehnya. Sore itu kita menikmati senja bersama, kembali menuliskan nama kita di atas pasir putih. Sore itu kamu begitu manis, begitu romantis lebih romantis dari dua tahun yang lalu.
                                                                        ҈҉           
Sinar matahari pagi menyilaukan pandanganku,  ibu baru saja membuka jendela kamarku, itu sama saja membangunkanku dari tidur, padahal masih pengen tidur masih pengen melanjutkan mimpi bersama agam.
“Nak, bangun. Tuh Agam udah nungguin kamu dari tadi”, sapa ibu lembut.
“ Iyah bu, Agam udah nunggu ninda bu? “.
“Udah dari tadi, kamu mandi gih terus sarapan, udah ibu siapin sarapan buat kamu sama agam”.
Ku beranjak, mandi kilat dan menemui agam. Senyum agam masih seperti kemarin, senyum yang selalu membuat aku selalu jatuh cinta padanya.
“Gam, sarapan yuks ibu udah nyiapin sarapan buat kita”.
“Hayu sayang, kamu cantik banget hari ini”, agam merayuku sambil mengandeng erat jemariku.
Agam masih memperhatikanku, gerak-gerik matanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam, aku tak pernah tahu mengapa perubahan itu terjadi padanya. Aku memang tak mau menduga-duga karena takut semua yang telah kita lalui itu rusak karena sifatku yang suka menduga-duga. Aku hanya ingin membuang segala muatan negatif yang ada dalam diriku, aku ingin mengantikannya dengan muatan-muatan positif yang akan membuatmu terus menjadi agamku.
                                                                        ҈҉           
Seorang perempuan berkulit putih, berperawakan tinggi dan berwajah ayu datang menemuiku dengan map hitam ditangannya, aku tak mengenalnya tapi wajahnya tak asing bagiku. Matanya menyorotkan kebencian terhadapku namun tak sedikitpun mengurangi paras ayunya. Ku coba buka-buka file memori di otakku, mencoba menemukan nama dari sosok yang telah ada di depanku. Sampai  akhirnya aku menemukan kembali file yang ada dalam memori otakku, aku pernah melihat foto dia di hp agam. Tapi aku tak pernah tahu siapa dia karena aku tak mau dibilang terlalu mencampuri urusannya.
“ Kamu ninda?”.
“ Ya, saya ninda. Mbak siapa yah?”.
“Rasanya kamu tak perlu tahu namaku,aku hanya ingin memberimu ini, agar kamu tahu siapa agam sebenarnya”, deg jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, suaranya begitu ketus, menggambarkan kebenciannya kepada aku dan agam. Tuhan apa isi map ini. Semua pertanyaan dalam hatiku belum bisa terjawab, otakku masih terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang aku sulit cerna, kalimat-kalimat yang asing bagiku, yang akupun tak bisa menjawabnya.
Tanganku gemetar, tubuhku seakan terguncang, ada gempa parsial yang ada dalam diriku. Tiap lembar isi map itu bagai surat kematian untukku, aku tak bisa berkata. Terasa air hangat keluar dari pelupuk mataku, tangisku meledak. Aku tak peduli aku ada dimana,  langsung ku ambil selembaran uang 20 ribuan untuk membayar minuman yang aku pesan. Wajah kasir itu menatapku iba. Tapi aku tak peduli dengan tatapan ibanya, padahal dalam hati aku mengutuk tatapan iba itu.
Perjalanan dari kafe ke rumahku terasa sangat jauh. Argo terus berputar seperti air mataku yang masih mengalir. Aku memang wanita perasa yang begitu cengeng, entahlah mungkin semua wanita juga akan menangis jika mereka menjadi aku. Sesampai dirumah aku memeluk ibuku meraung-raung bak anak ayam yang kehilangan induknya, ibu terus mengelus rambutku. Ibu tak berkata apa-apa tapi matanya menyiratkan dia lebih terluka dibanding aku. 
Malam itu agam menemuiku, namun suasananya tak seperti kemarin. Aku hanya diam dengan mata yang membengkak, aku sudah tak bisa berkata lagi dengan agam. Aku diam, diam yang sediam-diamnya, aku tak bisa berucap. Malam ini kamu seperti monster yang menghancurkan mimpiku. Aku tak pernah percaya akan menghadapi kenyataan seperti ini, aku hanya memberimu sebuah surat. Surat putih yang sedikit lusuh karena ada tetesan air mata di sudut-sudutnya.
To : Agam
Seorang wanita berparas ayu menghampiriku, aku tak pernah tahu siapa dia. Tapi wajahnya tak asing bagiku. Dia membawakan sebuah map berisikan semua foto-fotomu dengannya, dan dengan anakmu. Ya, dia istrimu. Dalam amplop itu semua cerita bahagiamu dengannya menghancurkan setiap kepingan mimpi kita. Argh!! bukan mimpi kita tetapi mimpiku, kamu telah lebih dulu mewujudkan mimpimu dengan dia, bukan denganku. Aku memang mencintaimu tapi dia lebih membutuhkanmu. Dia yang lebih dulu kau kenalkan dengan senja, dia yang lebih dulu kau tuliskan namanya diatas pasir dan dia yang lebih dulu memberikanmu seorang anak.
Bukannya dulu kamu pernah bilang padaku, kamu ingin punya peri-peri kecil yang memanggilmu ayah, dia telah memberikanmu peri-peri kecil itu. Lalu apa lagi yang kau sangsikan lagi darinya? Kembalilah dengannya, dengan peri-peri kecilmu yang lucu. Anggaplah aku penghibur sepimu, anggaplah aku iklan yang kamu tonton sesaat ketika kamu sedang asik melihat sinteron. Anggaplah aku masa lalumu yang sekedar lewat. Anggaplah aku tak ada seperti saat kamu berubah kemarin-kemarin. Anggaplah aku pelangi yang bersamamu sementara dan mengindahkan harimu sementara walau hujan tetap ada. Biarlah deburan ombak menghapus setiap huruf yang kita tuliskan di atas hamparan pasir. Dan aku, akan tetap menjadi aku seperti sebelum aku mengenalmu.                                                                                                           Ninda Arinda
Aku tak pernah mau tahu setiap cerita yang menyudutkanmu, aku juga tak mau tahu setiap nasehat yang selalu mewarnai telingaku. Tapi ternyata aku salah, aku memang harus tahu segala sesuatu yang terjadi pada orang yang ku sayangi. Kemarin aku coba tutup mata atas pengabaianmu, namun kali ini aku tak bisa menutup mata karena seorang yang begitu nyata menunjukan semuanya, mungkin ini jalan Tuhan menunjukan kunci peta buta kepada seorang wanita sepertiku agar tak selalu ada dalam kebutaan. Aku buta karena aku salah mencintaimu, mencintai seseorang yang pernah menyelipkan cincin dijari manis seorang wanita yang kini menjadi istrinya, mencintai seseorang yang pernah berjanji dihadapan penghulu, mencintai seseorang yang sudah mempunyai buku nikah. Aku tahu cinta tak pernah salah karena cinta itu alami namun dalam suatu hubungan tak hanya sekedar cinta, tapi komitmen, dan kamu harus menjaga komitmen dengan wanitamu itu.
Biarlah cerita kita menjadi cerita lalu. Mungkin Tuhan mengariskan kita bersama untuk beberapa waktu tapi Tuhan tak mengariskan kita bersama selamanya. Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku. Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.

Free Writing


Pelangi di Sela-Sela Hujan

Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama
tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus
ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku.
Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.

Aku kira kamu masih yang dulu, yang selalu menyapaku lembut. Namun perkiraanku jauh dari kenyataannya, kamu sudah jauh berbeda, kamu telah menjadi orang lain yang aku pun tak tahu siapa kamu sekarang. Kamu berubah begitu cepat, seolah-olah kecepatan cahayapun terkalahkan oleh perubahan sikapmu itu. Aku tak mau menduga-duga alasan kamu berubah, aku takut aku salah, aku takut terlalu mendramatisir keadaan. Namun drama yang aku buat dalam imajenasiku itu lebih tragis dari apa yang ku alami sekarang, kamu memang sudah tak seperti dulu, kamu memang sudah tak selembut dulu, kamu memang sudah tak memahami perasaan seseorang yang selalu mempertahankanmu.
Lagi dan lagi aku tersakiti, dan aku tetap bertahan tak tahu berapa lama lagi aku mampu mempertahankan, cinta yang kata mereka buta. Aku bahkan tak pernah mempedulikan mereka yang menganggapku bodoh, menganggapku tolol karena mempertahankan seseorang sepertimu. Menurutku kamu begitu teristimewa, begitu manis, begitu lembut dan selalu membuat tawaku lepas. Tapi itu kamu yang dulu, kamu yang sekarang  beda. Menatapku saja, seolah kamu menatap mangsa yang akan kamu terkam, matamu  selalu menyiratkan amarah dan kebencian. Aku tak pernah tahu sebabnya, lagi lagi aku tak mau menduga-duga hal yang sangat aku takutkan.
Terdengar suara khas bruno mars dari handphoneku,
From :  Agam
Aku mau ngomong sm km di kafe biasa, mau dijemput apa ketemuan disana?
To : Agam
Aku naik taksi ajah kesana.
Ku bergegas dan bangkit dari kasurku yang begitu manja, kertas masih berserakan dikasur, aku belum selesai menulis tapi ada hal lain yang begitu penting bagiku selain menulis, ku slempangkan handuk untuk ke kamar mandi, sambil melangkah gontai. Ku jatuhkan setiap tetesan air dari shower, selalu aku mual dipagi yang begitu dingin ini, memang tak pernah bersahabat dengan mandi pagi, “pikirku.
Pukul 10.30, tepat sampai di kafe yang berada di samping gedung pertunjukan yang terlihat begitu ramai. Ternyata agam sudah sampai lebih dulu di sana, dia sudah duduk di samping kaca yang akan terlihat begitu romantis saat hujan, kaca yang menyulap air menjadi tetesan-tetesan embun yang begitu indah untuk dinikmati.
“ kamu udah lama nunggu”, tanyaku, sambil ku geser kursi yang awalnya rapat dengan meja.
“ ga, aku baru sampai ko”, jawabnya datar.
“kamu kenapa sih gam, akhir-akhir ini kamu selalu jutek padaku, kalau aku ada salah ya kamu ngomong, ga perlu mendiamkanku begini “, spontan letupan emosi yang telah membesar di hatiku itu keluar lewat mulutku.
“ kamu mau pesan apa?”, ucapnya datar.
“aku nanya ke kamu, kamu malah mengalihkan pembicaraan, kamu ........”, buru-buru dia memegang tanganku mengisyaratkan aku untuk diam. Aku tak bisa berkutik lagi saat sorotan mata yang sedang memohon itu menatapku, tajam tapi meneduhkan. Sorot mata itu kembali menjadi sosok yang aku kenal, ini adalah agamku, agam yang dulu, agam yang selalu lembut.
“ mas, silahkan pesanannya sudah datang “, seorang pelayan wanita berbadan ramping berkulit coklat manis itu membawa minuman sambil menyungingkan senyumannya yang sederhana tapi begitu menarik. Lamunanku buyar, sorotan mata itu tak lagi menatapku, tapi tangannya masih menggenggam erat jemariku.
“kamu mau pesan apa sayang”, suara agam yang halus dan kembali membuat hatiku menari-nari.
“aku pesan stick mushroom sama capucino dingin ajah”, jawabku , pelayan itu mencatat makanan yang aku pesan, lalu pergi.
Ku coba tatap mata agam, masih menjadi agamku, tatapannya kembali menjadi agam yang ku kenal dulu. Sentuhan halus jemarinya kini menyentuh pipiku, berjalan menuju rambutku yang sengaja ku gerai.
“ Nin, maafin aku. Kemarin-kemarin aku sering kasar ke kamu, aku sering marah-marah ga jelas, emosiku kadang ga stabil, maafin aku ya nin, aku sayang kamu.”
“Kamu tahu kan gam, aku selalu maafin kamu, aku ga pernah bisa marah atau benci kamu.”
Tak beberapa lama makananan pesanankupun datang, kami makan sambil sesekali saling menyuapi. Aku bahagia, agamku kembali lagi.
Usai makan siang di kafe itu, agam mengajakku ke tempat pertama kita bertemu, dengan jazz putih yang dia pakai, kita menyusuri jalan yang lumayan padat . Aku bahagia, agamku yang dulu sudah kembali.  Di mobil putih keluaran terbaru itu, tawa kita selalu meledak, tak jarang agam mencubit cuping hidungku sebagai tanda kalau ia sedang gemas. Jemariku juga masih bergelayut manja di lengannya. Aku merasa seperti berada di 2 tahun lalu, saat pertama kita berkomitmen untuk menjalin suatu hubungan, hubungan yang kita mulai dengan keseriusan dan berharap berakhir juga dengan sebuah keseriusan.
 Agam mengajakku ke pantai tempat kita menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu senja, sepertinya agam juga merindukan pancaran matahari tenggelam yang terbias di air. Sudah 6 bulan lebih agam tak pernah mengajakku ke tempat ini lagi.
“ Sayang, kamu kenapa diem ajah dari tadi, “ agam menoel pipiku.
“ Aku kangen saat-saat seperti ini gam, rasanya udah lama sekali kamu tak mengajakku kesini, beberapa bulan ini aku hanya menikmati senja ini sendiri, tanpamu dan rasanya sangat asing bagiku. Rasanya senja itu tak lagi bersahabat denganku setiap ku nikmati senja itu sendiri, tapi sekarang lihat saja senja itu mulai tersenyum padaku, mulai memancarkan cahayanya, “ ucapku sambil membereskan rambut agam yang berantakan tersapu angin pantai.
Sesekali air pantai menyapu kakiku dengan pijatan halus pasir khas pantai, agam memegang erat jemariku. Senyumnya, senyum yang tak asing bagiku, senyum yang menemani hari-hariku selama 2 tahun ini. Agam pria yang begitu sempurna di mataku, yang selalu tak punya cacat meski kadang hatiku tersayat olehnya. Sore itu kita menikmati senja bersama, kembali menuliskan nama kita di atas pasir putih. Sore itu kamu begitu manis, begitu romantis lebih romantis dari dua tahun yang lalu.
                                                                        ҈҉           
Sinar matahari pagi menyilaukan pandanganku,  ibu baru saja membuka jendela kamarku, itu sama saja membangunkanku dari tidur, padahal masih pengen tidur masih pengen melanjutkan mimpi bersama agam.
“Nak, bangun. Tuh Agam udah nungguin kamu dari tadi”, sapa ibu lembut.
“ Iyah bu, Agam udah nunggu ninda bu? “.
“Udah dari tadi, kamu mandi gih terus sarapan, udah ibu siapin sarapan buat kamu sama agam”.
Ku beranjak, mandi kilat dan menemui agam. Senyum agam masih seperti kemarin, senyum yang selalu membuat aku selalu jatuh cinta padanya.
“Gam, sarapan yuks ibu udah nyiapin sarapan buat kita”.
“Hayu sayang, kamu cantik banget hari ini”, agam merayuku sambil mengandeng erat jemariku.
Agam masih memperhatikanku, gerak-gerik matanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam, aku tak pernah tahu mengapa perubahan itu terjadi padanya. Aku memang tak mau menduga-duga karena takut semua yang telah kita lalui itu rusak karena sifatku yang suka menduga-duga. Aku hanya ingin membuang segala muatan negatif yang ada dalam diriku, aku ingin mengantikannya dengan muatan-muatan positif yang akan membuatmu terus menjadi agamku.
                                                                        ҈҉           
Seorang perempuan berkulit putih, berperawakan tinggi dan berwajah ayu datang menemuiku dengan map hitam ditangannya, aku tak mengenalnya tapi wajahnya tak asing bagiku. Matanya menyorotkan kebencian terhadapku namun tak sedikitpun mengurangi paras ayunya. Ku coba buka-buka file memori di otakku, mencoba menemukan nama dari sosok yang telah ada di depanku. Sampai  akhirnya aku menemukan kembali file yang ada dalam memori otakku, aku pernah melihat foto dia di hp agam. Tapi aku tak pernah tahu siapa dia karena aku tak mau dibilang terlalu mencampuri urusannya.
“ Kamu ninda?”.
“ Ya, saya ninda. Mbak siapa yah?”.
“Rasanya kamu tak perlu tahu namaku,aku hanya ingin memberimu ini, agar kamu tahu siapa agam sebenarnya”, deg jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, suaranya begitu ketus, menggambarkan kebenciannya kepada aku dan agam. Tuhan apa isi map ini. Semua pertanyaan dalam hatiku belum bisa terjawab, otakku masih terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang aku sulit cerna, kalimat-kalimat yang asing bagiku, yang akupun tak bisa menjawabnya.
Tanganku gemetar, tubuhku seakan terguncang, ada gempa parsial yang ada dalam diriku. Tiap lembar isi map itu bagai surat kematian untukku, aku tak bisa berkata. Terasa air hangat keluar dari pelupuk mataku, tangisku meledak. Aku tak peduli aku ada dimana,  langsung ku ambil selembaran uang 20 ribuan untuk membayar minuman yang aku pesan. Wajah kasir itu menatapku iba. Tapi aku tak peduli dengan tatapan ibanya, padahal dalam hati aku mengutuk tatapan iba itu.
Perjalanan dari kafe ke rumahku terasa sangat jauh. Argo terus berputar seperti air mataku yang masih mengalir. Aku memang wanita perasa yang begitu cengeng, entahlah mungkin semua wanita juga akan menangis jika mereka menjadi aku. Sesampai dirumah aku memeluk ibuku meraung-raung bak anak ayam yang kehilangan induknya, ibu terus mengelus rambutku. Ibu tak berkata apa-apa tapi matanya menyiratkan dia lebih terluka dibanding aku. 
Malam itu agam menemuiku, namun suasananya tak seperti kemarin. Aku hanya diam dengan mata yang membengkak, aku sudah tak bisa berkata lagi dengan agam. Aku diam, diam yang sediam-diamnya, aku tak bisa berucap. Malam ini kamu seperti monster yang menghancurkan mimpiku. Aku tak pernah percaya akan menghadapi kenyataan seperti ini, aku hanya memberimu sebuah surat. Surat putih yang sedikit lusuh karena ada tetesan air mata di sudut-sudutnya.
To : Agam
Seorang wanita berparas ayu menghampiriku, aku tak pernah tahu siapa dia. Tapi wajahnya tak asing bagiku. Dia membawakan sebuah map berisikan semua foto-fotomu dengannya, dan dengan anakmu. Ya, dia istrimu. Dalam amplop itu semua cerita bahagiamu dengannya menghancurkan setiap kepingan mimpi kita. Argh!! bukan mimpi kita tetapi mimpiku, kamu telah lebih dulu mewujudkan mimpimu dengan dia, bukan denganku. Aku memang mencintaimu tapi dia lebih membutuhkanmu. Dia yang lebih dulu kau kenalkan dengan senja, dia yang lebih dulu kau tuliskan namanya diatas pasir dan dia yang lebih dulu memberikanmu seorang anak.
Bukannya dulu kamu pernah bilang padaku, kamu ingin punya peri-peri kecil yang memanggilmu ayah, dia telah memberikanmu peri-peri kecil itu. Lalu apa lagi yang kau sangsikan lagi darinya? Kembalilah dengannya, dengan peri-peri kecilmu yang lucu. Anggaplah aku penghibur sepimu, anggaplah aku iklan yang kamu tonton sesaat ketika kamu sedang asik melihat sinteron. Anggaplah aku masa lalumu yang sekedar lewat. Anggaplah aku tak ada seperti saat kamu berubah kemarin-kemarin. Anggaplah aku pelangi yang bersamamu sementara dan mengindahkan harimu sementara walau hujan tetap ada. Biarlah deburan ombak menghapus setiap huruf yang kita tuliskan di atas hamparan pasir. Dan aku, akan tetap menjadi aku seperti sebelum aku mengenalmu.                                                                                                           Ninda Arinda
Aku tak pernah mau tahu setiap cerita yang menyudutkanmu, aku juga tak mau tahu setiap nasehat yang selalu mewarnai telingaku. Tapi ternyata aku salah, aku memang harus tahu segala sesuatu yang terjadi pada orang yang ku sayangi. Kemarin aku coba tutup mata atas pengabaianmu, namun kali ini aku tak bisa menutup mata karena seorang yang begitu nyata menunjukan semuanya, mungkin ini jalan Tuhan menunjukan kunci peta buta kepada seorang wanita sepertiku agar tak selalu ada dalam kebutaan. Aku buta karena aku salah mencintaimu, mencintai seseorang yang pernah menyelipkan cincin dijari manis seorang wanita yang kini menjadi istrinya, mencintai seseorang yang pernah berjanji dihadapan penghulu, mencintai seseorang yang sudah mempunyai buku nikah. Aku tahu cinta tak pernah salah karena cinta itu alami namun dalam suatu hubungan tak hanya sekedar cinta, tapi komitmen, dan kamu harus menjaga komitmen dengan wanitamu itu.
Biarlah cerita kita menjadi cerita lalu. Mungkin Tuhan mengariskan kita bersama untuk beberapa waktu tapi Tuhan tak mengariskan kita bersama selamanya. Kita seperti pelangi dan hujan, pernah bersama tapi tak selalu bersama. Aku tahu  di setiap hujan tak harus ada pelangi, dan disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku. Dan Aku hanya ada sejenak di sela-sela hujanmu.