Pelangi di
Sela-Sela Hujan
Kita
seperti pelangi dan hujan, pernah bersama
tapi tak selalu
bersama. Aku tahu di setiap hujan tak
harus
ada pelangi, dan
disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku.
Dan Aku hanya ada
sejenak di sela-sela hujanmu.
Aku
kira kamu masih yang dulu, yang selalu menyapaku lembut. Namun perkiraanku jauh
dari kenyataannya, kamu sudah jauh berbeda, kamu telah menjadi orang lain yang
aku pun tak tahu siapa kamu sekarang. Kamu berubah begitu cepat, seolah-olah
kecepatan cahayapun terkalahkan oleh perubahan sikapmu itu. Aku tak mau
menduga-duga alasan kamu berubah, aku takut aku salah, aku takut terlalu
mendramatisir keadaan. Namun drama yang aku buat dalam imajenasiku itu lebih
tragis dari apa yang ku alami sekarang, kamu memang sudah tak seperti dulu, kamu
memang sudah tak selembut dulu, kamu memang sudah tak memahami perasaan
seseorang yang selalu mempertahankanmu.
Lagi
dan lagi aku tersakiti, dan aku tetap bertahan tak tahu berapa lama lagi aku
mampu mempertahankan, cinta yang kata mereka buta. Aku bahkan tak pernah
mempedulikan mereka yang menganggapku bodoh, menganggapku tolol karena
mempertahankan seseorang sepertimu. Menurutku kamu begitu teristimewa, begitu
manis, begitu lembut dan selalu membuat tawaku lepas. Tapi itu kamu yang dulu,
kamu yang sekarang beda. Menatapku saja,
seolah kamu menatap mangsa yang akan kamu terkam, matamu selalu menyiratkan amarah dan kebencian. Aku
tak pernah tahu sebabnya, lagi lagi aku tak mau menduga-duga hal yang sangat
aku takutkan.
Terdengar
suara khas bruno mars dari handphoneku,
From : Agam
Aku mau ngomong sm km
di kafe biasa, mau dijemput apa ketemuan disana?
To : Agam
Aku naik taksi ajah
kesana.
Ku
bergegas dan bangkit dari kasurku yang begitu manja, kertas masih berserakan
dikasur, aku belum selesai menulis tapi ada hal lain yang begitu penting bagiku
selain menulis, ku slempangkan handuk untuk ke kamar mandi, sambil melangkah
gontai. Ku jatuhkan setiap tetesan air dari shower, selalu aku mual dipagi yang
begitu dingin ini, memang tak pernah bersahabat dengan mandi pagi, “pikirku.
Pukul
10.30, tepat sampai di kafe yang berada di samping gedung pertunjukan yang
terlihat begitu ramai. Ternyata agam sudah sampai lebih dulu di sana, dia sudah
duduk di samping kaca yang akan terlihat begitu romantis saat hujan, kaca yang
menyulap air menjadi tetesan-tetesan embun yang begitu indah untuk dinikmati.
“
kamu udah lama nunggu”, tanyaku, sambil ku geser kursi yang awalnya rapat
dengan meja.
“
ga, aku baru sampai ko”, jawabnya datar.
“kamu
kenapa sih gam, akhir-akhir ini kamu selalu jutek padaku, kalau aku ada salah
ya kamu ngomong, ga perlu mendiamkanku begini “, spontan letupan emosi yang
telah membesar di hatiku itu keluar lewat mulutku.
“
kamu mau pesan apa?”, ucapnya datar.
“aku
nanya ke kamu, kamu malah mengalihkan pembicaraan, kamu ........”, buru-buru
dia memegang tanganku mengisyaratkan aku untuk diam. Aku tak bisa berkutik lagi
saat sorotan mata yang sedang memohon itu menatapku, tajam tapi meneduhkan.
Sorot mata itu kembali menjadi sosok yang aku kenal, ini adalah agamku, agam
yang dulu, agam yang selalu lembut.
“
mas, silahkan pesanannya sudah datang “, seorang pelayan wanita berbadan
ramping berkulit coklat manis itu membawa minuman sambil menyungingkan
senyumannya yang sederhana tapi begitu menarik. Lamunanku buyar, sorotan mata
itu tak lagi menatapku, tapi tangannya masih menggenggam erat jemariku.
“kamu
mau pesan apa sayang”, suara agam yang halus dan kembali membuat hatiku
menari-nari.
“aku
pesan stick mushroom sama capucino dingin ajah”, jawabku , pelayan itu mencatat
makanan yang aku pesan, lalu pergi.
Ku
coba tatap mata agam, masih menjadi agamku, tatapannya kembali menjadi agam
yang ku kenal dulu. Sentuhan halus jemarinya kini menyentuh pipiku, berjalan
menuju rambutku yang sengaja ku gerai.
“
Nin, maafin aku. Kemarin-kemarin aku sering kasar ke kamu, aku sering
marah-marah ga jelas, emosiku kadang ga stabil, maafin aku ya nin, aku sayang
kamu.”
“Kamu
tahu kan gam, aku selalu maafin kamu, aku ga pernah bisa marah atau benci
kamu.”
Tak
beberapa lama makananan pesanankupun datang, kami makan sambil sesekali saling
menyuapi. Aku bahagia, agamku kembali lagi.
Usai
makan siang di kafe itu, agam mengajakku ke tempat pertama kita bertemu, dengan
jazz putih yang dia pakai, kita menyusuri jalan yang lumayan padat . Aku
bahagia, agamku yang dulu sudah kembali.
Di mobil putih keluaran terbaru itu, tawa kita selalu meledak, tak
jarang agam mencubit cuping hidungku sebagai tanda kalau ia sedang gemas.
Jemariku juga masih bergelayut manja di lengannya. Aku merasa seperti berada di
2 tahun lalu, saat pertama kita berkomitmen untuk menjalin suatu hubungan,
hubungan yang kita mulai dengan keseriusan dan berharap berakhir juga dengan
sebuah keseriusan.
Agam mengajakku ke pantai tempat kita
menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu senja, sepertinya agam juga
merindukan pancaran matahari tenggelam yang terbias di air. Sudah 6 bulan lebih
agam tak pernah mengajakku ke tempat ini lagi.
“
Sayang, kamu kenapa diem ajah dari tadi, “ agam menoel pipiku.
“
Aku kangen saat-saat seperti ini gam, rasanya udah lama sekali kamu tak
mengajakku kesini, beberapa bulan ini aku hanya menikmati senja ini sendiri,
tanpamu dan rasanya sangat asing bagiku. Rasanya senja itu tak lagi bersahabat
denganku setiap ku nikmati senja itu sendiri, tapi sekarang lihat saja senja
itu mulai tersenyum padaku, mulai memancarkan cahayanya, “ ucapku sambil
membereskan rambut agam yang berantakan tersapu angin pantai.
Sesekali
air pantai menyapu kakiku dengan pijatan halus pasir khas pantai, agam memegang
erat jemariku. Senyumnya, senyum yang tak asing bagiku, senyum yang menemani
hari-hariku selama 2 tahun ini. Agam pria yang begitu sempurna di mataku, yang
selalu tak punya cacat meski kadang hatiku tersayat olehnya. Sore itu kita menikmati
senja bersama, kembali menuliskan nama kita di atas pasir putih. Sore itu kamu
begitu manis, begitu romantis lebih romantis dari dua tahun yang lalu.
҈҉
Sinar
matahari pagi menyilaukan pandanganku, ibu baru saja membuka jendela kamarku, itu
sama saja membangunkanku dari tidur, padahal masih pengen tidur masih pengen
melanjutkan mimpi bersama agam.
“Nak,
bangun. Tuh Agam udah nungguin kamu dari tadi”, sapa ibu lembut.
“
Iyah bu, Agam udah nunggu ninda bu? “.
“Udah
dari tadi, kamu mandi gih terus sarapan, udah ibu siapin sarapan buat kamu sama
agam”.
Ku
beranjak, mandi kilat dan menemui agam. Senyum agam masih seperti kemarin,
senyum yang selalu membuat aku selalu jatuh cinta padanya.
“Gam,
sarapan yuks ibu udah nyiapin sarapan buat kita”.
“Hayu
sayang, kamu cantik banget hari ini”, agam merayuku sambil mengandeng erat
jemariku.
Agam
masih memperhatikanku, gerak-gerik matanya menyiratkan kerinduan yang begitu
mendalam, aku tak pernah tahu mengapa perubahan itu terjadi padanya. Aku memang
tak mau menduga-duga karena takut semua yang telah kita lalui itu rusak karena
sifatku yang suka menduga-duga. Aku hanya ingin membuang segala muatan negatif
yang ada dalam diriku, aku ingin mengantikannya dengan muatan-muatan positif
yang akan membuatmu terus menjadi agamku.
҈҉
Seorang
perempuan berkulit putih, berperawakan tinggi dan berwajah ayu datang menemuiku
dengan map hitam ditangannya, aku tak mengenalnya tapi wajahnya tak asing
bagiku. Matanya menyorotkan kebencian terhadapku namun tak sedikitpun
mengurangi paras ayunya. Ku coba buka-buka file memori di otakku, mencoba
menemukan nama dari sosok yang telah ada di depanku. Sampai akhirnya aku menemukan kembali file yang ada
dalam memori otakku, aku pernah melihat foto dia di hp agam. Tapi aku tak
pernah tahu siapa dia karena aku tak mau dibilang terlalu mencampuri urusannya.
“
Kamu ninda?”.
“
Ya, saya ninda. Mbak siapa yah?”.
“Rasanya
kamu tak perlu tahu namaku,aku hanya ingin memberimu ini, agar kamu tahu siapa
agam sebenarnya”, deg jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, suaranya
begitu ketus, menggambarkan kebenciannya kepada aku dan agam. Tuhan apa isi map
ini. Semua pertanyaan dalam hatiku belum bisa terjawab, otakku masih terus
mengeluarkan kalimat-kalimat yang aku sulit cerna, kalimat-kalimat yang asing
bagiku, yang akupun tak bisa menjawabnya.
Tanganku
gemetar, tubuhku seakan terguncang, ada gempa parsial yang ada dalam diriku.
Tiap lembar isi map itu bagai surat kematian untukku, aku tak bisa berkata.
Terasa air hangat keluar dari pelupuk mataku, tangisku meledak. Aku tak peduli
aku ada dimana, langsung ku ambil
selembaran uang 20 ribuan untuk membayar minuman yang aku pesan. Wajah kasir
itu menatapku iba. Tapi aku tak peduli dengan tatapan ibanya, padahal dalam
hati aku mengutuk tatapan iba itu.
Perjalanan
dari kafe ke rumahku terasa sangat jauh. Argo terus berputar seperti air mataku
yang masih mengalir. Aku memang wanita perasa yang begitu cengeng, entahlah
mungkin semua wanita juga akan menangis jika mereka menjadi aku. Sesampai
dirumah aku memeluk ibuku meraung-raung bak anak ayam yang kehilangan induknya,
ibu terus mengelus rambutku. Ibu tak berkata apa-apa tapi matanya menyiratkan
dia lebih terluka dibanding aku.
Malam
itu agam menemuiku, namun suasananya tak seperti kemarin. Aku hanya diam dengan
mata yang membengkak, aku sudah tak bisa berkata lagi dengan agam. Aku diam,
diam yang sediam-diamnya, aku tak bisa berucap. Malam ini kamu seperti monster
yang menghancurkan mimpiku. Aku tak pernah percaya akan menghadapi kenyataan
seperti ini, aku hanya memberimu sebuah surat. Surat putih yang sedikit lusuh
karena ada tetesan air mata di sudut-sudutnya.
To : Agam
Seorang wanita
berparas ayu menghampiriku, aku tak pernah tahu siapa dia. Tapi wajahnya tak
asing bagiku. Dia membawakan sebuah map berisikan semua foto-fotomu dengannya,
dan dengan anakmu. Ya, dia istrimu. Dalam amplop itu semua cerita bahagiamu
dengannya menghancurkan setiap kepingan mimpi kita. Argh!! bukan mimpi kita
tetapi mimpiku, kamu telah lebih dulu mewujudkan mimpimu dengan dia, bukan
denganku. Aku memang mencintaimu tapi dia lebih membutuhkanmu. Dia yang lebih
dulu kau kenalkan dengan senja, dia yang lebih dulu kau tuliskan namanya diatas
pasir dan dia yang lebih dulu memberikanmu seorang anak.
Bukannya dulu
kamu pernah bilang padaku, kamu ingin punya peri-peri kecil yang memanggilmu
ayah, dia telah memberikanmu peri-peri kecil itu. Lalu apa lagi yang kau
sangsikan lagi darinya? Kembalilah dengannya, dengan peri-peri kecilmu yang
lucu. Anggaplah aku penghibur sepimu, anggaplah aku iklan yang kamu tonton
sesaat ketika kamu sedang asik melihat sinteron. Anggaplah aku masa lalumu yang
sekedar lewat. Anggaplah aku tak ada seperti saat kamu berubah kemarin-kemarin.
Anggaplah aku pelangi yang bersamamu sementara dan mengindahkan harimu
sementara walau hujan tetap ada. Biarlah deburan ombak menghapus setiap huruf
yang kita tuliskan di atas hamparan pasir. Dan aku, akan tetap menjadi aku
seperti sebelum aku mengenalmu. Ninda
Arinda
Aku
tak pernah mau tahu setiap cerita yang menyudutkanmu, aku juga tak mau tahu
setiap nasehat yang selalu mewarnai telingaku. Tapi ternyata aku salah, aku
memang harus tahu segala sesuatu yang terjadi pada orang yang ku sayangi.
Kemarin aku coba tutup mata atas pengabaianmu, namun kali ini aku tak bisa
menutup mata karena seorang yang begitu nyata menunjukan semuanya, mungkin ini
jalan Tuhan menunjukan kunci peta buta kepada seorang wanita sepertiku agar tak
selalu ada dalam kebutaan. Aku buta karena aku salah mencintaimu, mencintai
seseorang yang pernah menyelipkan cincin dijari manis seorang wanita yang kini
menjadi istrinya, mencintai seseorang yang pernah berjanji dihadapan penghulu,
mencintai seseorang yang sudah mempunyai buku nikah. Aku tahu cinta tak pernah
salah karena cinta itu alami namun dalam suatu hubungan tak hanya sekedar
cinta, tapi komitmen, dan kamu harus menjaga komitmen dengan wanitamu itu.
Biarlah
cerita kita menjadi cerita lalu. Mungkin Tuhan mengariskan kita bersama untuk
beberapa waktu tapi Tuhan tak mengariskan kita bersama selamanya. Kita seperti
pelangi dan hujan, pernah bersama tapi tak selalu bersama. Aku tahu di setiap hujan tak harus ada pelangi, dan
disetiap hari kamu tak harus selalu ada aku. Dan Aku hanya ada sejenak di
sela-sela hujanmu.