Kamis, 19 September 2013

Menyesalkah kamu atas pengabaianmu?

Kemana kamu saat aku butuh kamu? Kamu tak ada kan? Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, aku hanya prioritas kesekian dari kehidupanmu. Aku bukan mau dinomor satukan, tapi aku hanya meminta sedikit waktumu. Kalau kamu pikir aku egois, apa kamu tak lebih egois dari aku. Kamu selalu mementingkan kerja, kerja dan pekerjaanmu itu. Apa aku sudah tak penting lagi bagimu, apa aku sudah tak lagi berarti dalam hidupmu, atau aku hanya benalu yang selalu menganggu pekerjaanmu itu. Jika iya, biarlah aku pergi, agar kamu bisa tumbuh subur dengan pekerjaanmu itu, tanpa aku, tanpa benalumu.
Setiap aku merajuk meminta waktumu untukku, kamu selalu berkata “mengertilah ini demi masa depan kita”. Masa depan kita? Bagaimana mungkin kamu menjanjikan masa depan kita jika sekarang saja aku kau abaikan, bagaimana aku harus mempercayai janjimu itu jika sekarang saja aku kau duakan. Lihat saja kotak masuk di handphoneku, selama seminggu ini pesanmu bisa ku hitung  dengan hitungan jari. Lalu mengapa kamu berani menjanjikan masa depan, sedangkan sekarang saja kamu sudah berubah. Kemana kamu yang ku kenal dulu? Kemana janji yang selalu kau katakan bahwa kamu akan selalu menjadi yang ku kenal? Lupakah kamu pada semua janjimu itu?
Dulu tak semenitpun handphoneku tanpa pesanmu, dulu tak pernah seharipun aku lewati tanpamu. Dulu kamu selalu bisa meluangkan waktumu buatku, dulu setiap kamu pulang kerja kamu selalu mampir ke kosanku untuk sekedar melihat senyumku, walaupun aku tahu kamu lelah tapi kamu selalu ada buatku. Sayangnya itu dulu, ya dulu. Sekarang kamu jauh berbeda, kamu jauh dari yang kukenal dulu. Apakah aku yang salah, apakah aku yang terlalu peka? Ataukah kamu yang cuek, kamu yang tak sensitif, ataukah? Ah banyak sekali pertanyaan yang ingin ke tanyakan padamu namun masih ku simpan dalam benakku, karena aku sudah tak punya waktumu lagi.
Kamu sudah tak punya waktu untuk sekedar menemaniku melihat senja, padahal dulu kamu selalu duduk disampingku untuk melihat pemandangan indah yang selalu kita agung-agungkan yaitu senja. Apa kamu tak mau lagi melewati senja bersamaku? Mana canda tawamu yang dulu, aku rindu itu. Bukan wajah kusutmu yang  muram karena lelah bekerja. Mana sorot matamu yang selalu meneduhkanku, bukan mata merah yang lelah karena menatap komputer. Mana genggaman tangamu yang selalu menguatkan aku, bukan tangan yang selalu membawa kertas-kertas itu. Mana kamu yang dulu?
Kamu yang selalu ada di setiap lelahku, kamu yang selalu ada di setiap jatuhku, kamu yang selalu ada di setiap sepiku. Sekarang, kamu berbeda. Bahkan disetiap tangisku pun tak ada kamu yang biasanya mendekapku, menenangkanku, menghapus setiap bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mataku.
Kemana kamu yang dulu? Apakah aku harus bertahan ditengah pengabaianmu? Ataukah pergi dengan yang baru, yang tak pernah menjanjikanku masa depan, tapi membuktikan semua perkataan. Mungkin memang aku harus pergi dengan yang baru yang selalu ada buatku, yang mampu membuktikan setiap perkataannya bukan sekedar janji masa depan, agar kamu menyesali pengabaianmu itu. Ah apakah kamu akan menyesal? Ataukah kamu akan tertawa riang karena kamu lepas dari benalumu. Aku sebenarnya tak mau tahu tentang itu karena aku sudah punya teman baru yang mampu menemaniku menikamti senja, teman baru itu bukan “sepi”, sekali lagi bukan, bukan “sepi” yang selalu menemaniku saat kamu tak ada. Sekarang teman baruku itu dia, yang mampu menghapus tangisku atas pengabaianmu, dia yang selalu ada di setiap lelahku menghadapi pengabaianmu, dia yang bisa membawaku kembali dalam kehidupanku sekarang, bukan kamu yang menjanjikan masa depan. Karena bagiku bukan sekedar masa depan seperti yang selalu kau janjikan dulu, tapi pembuktian masa sekarang. Dan dia, dia bisa membuktikan masa sekarang itu bukan dengan masa depan yang kita tak tahu.

Menyesalkah kamu atas pengabaianmu? Tentu iya, aku tahu itu, kamu sangat menyesalkan? Buktinya saja kamu selalu menelponku, kamu selalu meminta waktuku, kamu lupa ya aku sudah bukan milikmu lagi. Aku sudah menjadi milik dia yang tak pernah mengabaikanku, aku sudah tak akan meminta waktumu lagi, aku sudah membebaskanmu untuk hidup dalam pekerjaanmu itu. Aku sudah tak akan mengingatkanmu makan, aku sudah tak akan meningatkanmu minum vitamian, aku sudah tidak akan memintamu mengunjungiku lagi. Aku sudah tidak akan meminta tanganmu untuk menghapus air mataku, aku sudah tak akan menangisi pengabaianmu. Sekarang justru kamu kan yang menangis karena pengabaianku? Tak perlu kau ucapkaan lagi janji-janji masa depanmu itu karena aku telah teramat lelah atas pengabaianmu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar