Kemana kamu saat aku butuh kamu? Kamu tak
ada kan? Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, aku hanya prioritas kesekian
dari kehidupanmu. Aku bukan mau dinomor satukan, tapi aku hanya meminta sedikit
waktumu. Kalau kamu pikir aku egois, apa kamu tak lebih egois dari aku. Kamu
selalu mementingkan kerja, kerja dan pekerjaanmu itu. Apa aku sudah tak penting
lagi bagimu, apa aku sudah tak lagi berarti dalam hidupmu, atau aku hanya
benalu yang selalu menganggu pekerjaanmu itu. Jika iya, biarlah aku pergi, agar
kamu bisa tumbuh subur dengan pekerjaanmu itu, tanpa aku, tanpa benalumu.
Setiap aku merajuk meminta waktumu untukku,
kamu selalu berkata “mengertilah ini demi masa depan kita”. Masa depan kita?
Bagaimana mungkin kamu menjanjikan masa depan kita jika sekarang saja aku kau
abaikan, bagaimana aku harus mempercayai janjimu itu jika sekarang saja aku kau
duakan. Lihat saja kotak masuk di handphoneku, selama seminggu ini pesanmu bisa
ku hitung dengan hitungan jari. Lalu
mengapa kamu berani menjanjikan masa depan, sedangkan sekarang saja kamu sudah
berubah. Kemana kamu yang ku kenal dulu? Kemana janji yang selalu kau katakan
bahwa kamu akan selalu menjadi yang ku kenal? Lupakah kamu pada semua janjimu
itu?
Dulu tak semenitpun handphoneku tanpa
pesanmu, dulu tak pernah seharipun aku lewati tanpamu. Dulu kamu selalu bisa
meluangkan waktumu buatku, dulu setiap kamu pulang kerja kamu selalu mampir ke
kosanku untuk sekedar melihat senyumku, walaupun aku tahu kamu lelah tapi kamu
selalu ada buatku. Sayangnya itu dulu, ya dulu. Sekarang kamu jauh berbeda,
kamu jauh dari yang kukenal dulu. Apakah aku yang salah, apakah aku yang
terlalu peka? Ataukah kamu yang cuek, kamu yang tak sensitif, ataukah? Ah
banyak sekali pertanyaan yang ingin ke tanyakan padamu namun masih ku simpan
dalam benakku, karena aku sudah tak punya waktumu lagi.
Kamu sudah tak punya waktu untuk sekedar
menemaniku melihat senja, padahal dulu kamu selalu duduk disampingku untuk
melihat pemandangan indah yang selalu kita agung-agungkan yaitu senja. Apa kamu
tak mau lagi melewati senja bersamaku? Mana canda tawamu yang dulu, aku rindu
itu. Bukan wajah kusutmu yang muram
karena lelah bekerja. Mana sorot matamu yang selalu meneduhkanku, bukan mata
merah yang lelah karena menatap komputer. Mana genggaman tangamu yang selalu
menguatkan aku, bukan tangan yang selalu membawa kertas-kertas itu. Mana kamu
yang dulu?
Kamu yang selalu ada di setiap lelahku,
kamu yang selalu ada di setiap jatuhku, kamu yang selalu ada di setiap sepiku.
Sekarang, kamu berbeda. Bahkan disetiap tangisku pun tak ada kamu yang biasanya
mendekapku, menenangkanku, menghapus setiap bulir air mata yang jatuh dari
pelupuk mataku.
Kemana kamu yang dulu? Apakah aku harus
bertahan ditengah pengabaianmu? Ataukah pergi dengan yang baru, yang tak pernah
menjanjikanku masa depan, tapi membuktikan semua perkataan. Mungkin memang aku
harus pergi dengan yang baru yang selalu ada buatku, yang mampu membuktikan
setiap perkataannya bukan sekedar janji masa depan, agar kamu menyesali
pengabaianmu itu. Ah apakah kamu akan menyesal? Ataukah kamu akan tertawa riang
karena kamu lepas dari benalumu. Aku sebenarnya tak mau tahu tentang itu karena
aku sudah punya teman baru yang mampu menemaniku menikamti senja, teman baru
itu bukan “sepi”, sekali lagi bukan, bukan “sepi” yang selalu menemaniku saat
kamu tak ada. Sekarang teman baruku itu dia, yang mampu menghapus tangisku atas
pengabaianmu, dia yang selalu ada di setiap lelahku menghadapi pengabaianmu,
dia yang bisa membawaku kembali dalam kehidupanku sekarang, bukan kamu yang
menjanjikan masa depan. Karena bagiku bukan sekedar masa depan seperti yang
selalu kau janjikan dulu, tapi pembuktian masa sekarang. Dan dia, dia bisa
membuktikan masa sekarang itu bukan dengan masa depan yang kita tak tahu.
Menyesalkah kamu atas pengabaianmu? Tentu
iya, aku tahu itu, kamu sangat menyesalkan? Buktinya saja kamu selalu
menelponku, kamu selalu meminta waktuku, kamu lupa ya aku sudah bukan milikmu
lagi. Aku sudah menjadi milik dia yang tak pernah mengabaikanku, aku sudah tak
akan meminta waktumu lagi, aku sudah membebaskanmu untuk hidup dalam
pekerjaanmu itu. Aku sudah tak akan mengingatkanmu makan, aku sudah tak akan
meningatkanmu minum vitamian, aku sudah tidak akan memintamu mengunjungiku
lagi. Aku sudah tidak akan meminta tanganmu untuk menghapus air mataku, aku
sudah tak akan menangisi pengabaianmu. Sekarang justru kamu kan yang menangis
karena pengabaianku? Tak perlu kau ucapkaan lagi janji-janji masa depanmu itu
karena aku telah teramat lelah atas pengabaianmu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar